Apresiasi Seni Rupa
Oleh : David
Kurator Seni Rupa Lampung
Galleri
Nasional Indonesia kerja bareng Taman Budaya Provinsi Lampung, akan menggelar pameran lukisan karya koleksi Galleri Nasional Indonesia
dan karya pelukis Lampung, Maret
nanti. Kegiatan seni rupa berskala nasional ini, akan memberi pencerahan
sekaligus apresiasi bagi perupa di
Lampung, terutama tolak ukur layaknya sebuah pameran atau eksibisi seni rupa
digelar.
Pekan lalu, pelaksanaan
pameran dan tim
kurator dari Galleri
Nasional sempat menggelar sarasehan dengan sejumlah perupa Lampung di
Gedung Olah Seni, Taman Budaya Lampung. Pertemuan tersebut, menyosialisasikan
tema pameran “Spirit
Khua Jukhai”. Yang mengangkat semangat lokalitas, Dari sarasehan
tersebut, saya mencoba memberikan catatan, sekaligus penajaman tentang banyak
hal tidak terpenuhi dalam kegiatan pameran seni rupa yang di gelar di beberapa
tempat di Lampung.
Dalam enam bulan terakhir
ini, ada tiga kegiatan pameran yang digelar di Lampung. Ketiga kegiatan
tersebut, pameran lukisan bertema “Dialog Visual Kedalam Kanva” oleh Dewan
Kesenian Lampung (DKL), 6 Oktober tahun lalu. Kemudian pameran lukisan bertajuk
“Jajanan Lukisan” digelar Dewan Kesenian Bandar Lampung (DKBL), 10 Desember
2016. Serta yang terbaru Galleri Akar’ Art, 7 Januari lalu.
Ketiga kegiatan tersebut,
menambah catatan perjalanan kita, bahwa hingga hari ini, belum ada kegiatan
pameran seni rupa, betul-betul memenuhi standar layaknya sebuah pameran.
Terkesan hanya perhelatan kesenian yang memajang karya apa adanya. Yang kadang
jauh sekali dari tematik dan kontensnya.
Pemahaman pameran seni rupa
cenderung hanya berorientasi ke event
atau gelar pameran, tidak menyentuh filosofi estetika dalam
ruang apresiasi. Tidak
terjadi dialog karya secara teknis misalnya, tentang komposisi,
ruang, keseimbangan, harmonisasi, proporsional, titik, garis, dan warna, dan peran penting instrumen estetika
lainnya.
Banyak faktor yang perlu
diperhatikan dalam menggelar sebuah pameran. Selain hal teknis menyangkut
keberadaan karya, juga faktor dialektika dan pesan yang hendak disampaikan.
Para perupa selaku subyek atau kreator harus mampu mengkomunikasikan bahasa rupanya
kepada apresiator (penikmat lukisan). Kreator harus mampu menjelaskan
pengalaman empiriknya, untuk mempresentasikan gagasan dan ide yang kreatif.
Sehingga terjadi dialektika ruang apresiasi antara pekarya seni dengan khalayak
seni.
Jika karya seni dibuat sebagai
bentuk komunikasi, maka dalam proses penciptaan ini sang seniman tengah
melakukan encode (menulis dalam
bahasa pesan ) atau pengontruksian
pesan. Kemudian menunggu
proses decode (mempelajari
arti pesan) atau penerjemahannya yang dilakukan oleh spektator/penonton.
Dalam ruang apresiasi, juga dibutuhkan harmonisasi,
keselarasan, sudut pandang,
dan komposisi. Sehingga ada ruang ‘kenyamanan’ apresiator
menikmati karya yang disajikan.
Baik karya tiga dimensi maupun karya dua dimensi.
Kreator,
Kurator, dan Kritikus
Setiap kegiatan
pameran, ada beberapa komponen mendasar yang terlibat antara lain, kreator,
kurator, dan kolektor. Ketiga komponen ini, sebagai komponen internal
yakni, pekarya (kreator), penyeleksi
karya (kurator), dan pengulas karya (kritikus).
Kreator atau seniman adalah pelaku seni yang menciptakan karya
seni dengan gagasan, ide melalui pengalaman empiris, dalam sudut pandang,
sosial, budaya, politik, arsitektur, relegius dan alam sekitarnya.
Kurator adalah sosok yang memiliki kapasitas dan
wewenang untuk melakukan pemilihan, akuisis, pembacaan, dan pemaknaan. Kemudian mempresentasi karya-karya ke ruang publik. Kurator
memiliki wewenang untuk ‘mengaresmen’ suatu presentasi pameran, dengan menggunakan
pendekatan, perspektif dan peranti teoritis.
Kurator sangat
menentukan keberhasilan sebuah pameran. Menggali tema,
merancang pameran, memilih tematik dan isu yang cerdas. Menulis dan mewartakannya. Sehingga mampu
mengantar karya-karya yang dikurasinya ke ruang apresiator atau khalayak
pengunjung pameran. Karena itu seorang kurator bertanggungjawab penuh dalam
bentuk konten pameran.
Kemudian peran
seorang kritikus juga harus dilibatkan dalam setiap pameran seni rupa.
Kritikus, selain memberikan penilaian terhadap karya juga memberikan apresiasi
kepada pekarya juga masyarakat pengunjung pameran. Kritikus secara objektif
melalui keahlian ilmunya akan menilai dan mengkritik kualitas sebuah karya.
Sebagai
ahli kritik seni, kritikus mempertimbangkan karya maupun wacana dari karya tersebut. Merumuskannya secara profesional. Kritik seni tidak lagi sebatas menilai karya, tetapi juga menjadi mediator
apresiasi antara
seniman dan publik. Kritikus harus
beraksi seperti layaknya seorang “pemburu”, seorang pengolah ide yang
mendampingi seniman dengan fungsi kreatifnya. Sudah masanya, kritikus tidak lagi sibuk mengidentifikasikan
dan menjelaskan dirinya dalam sebuah wilayah dan gerakan kesenian.
Peran Kolektor
Kolektor adalah orang atau lembaga yang termaksud dalam
infrastruktur penting seni rupa,
yang mengkoleksi karya-karya seni rupa. Keberadaan
kolektor terpaut erat terwujudnya poros kehidupan seni atau seniman. Bila
dikaji lebih mendasar dalam mengkoleksi karya, ada yang memang murni sebagai
koleksi pribadi dan ada pula yang dipakai sebagai aset masa depan, untuk dijual
kembali.
Jika memiliki wawasan
karya yang baik, kolektor bisa berperan secara tidak langsung
sebagai kritikus. Kemampuannya
mengapresiasi karya, dapat mempengaruhi dan menentukan keberadaan
pasar seni rupa.
Proses Kreatif, Pameran, dan Tugas Kurator
Proses kreatif
dalam kemasan
peristiwa kesenian, akan
menandai jejak rekam seorang kreator atau perupa. Proses kreatif tersebut akan tumbuh dari rutinitas berkarya serta
karya-karya yang dipamerkan. Proses perjalanan berkarya seorang perupa, akan
terekam jejaknya jika, standar indikator sebuah perhelatan pameran tersebut tercatat dan terdokumentasi dengan baik.
Sebuah pameran
harus memiliki penandaan, misalnya prasasti, tekswall atau pengantar pameran dalam bentuk katalogus. Sehingga masyarakat tahu maksud dan tujuan pameran, serta isu atau pesan yang hendak disampaikan ke publik.
Standar
indikator lainnya, adanya peliputan berita oleh media massa. Dan sedapat mungkin ada ulasan dari kegiatan pameran
tersebut dalam bentuk opini di media massa. Sehingga ada gaung yang panjang,
yang mampu menjadi dialektika antara apresiator dengan karya perupa. Dan tak kalah penting lagi, adalah transaksi karya lukisan yang dipamerkan. Dengan adanya karya yang
terjual kepada apresiator, penikmat, atau pun kolektor, akan menjadi ukuran membaca kondisi pasar dan minat
orang untuk mengoleksi karya seni rupa.
Dari pengamatan
selama ini, sebagian perhelatan pameran di Lampung belum memenuhi standar itu. Mungkin karena keterbatasan
informasi atau kurangnya pengetahuan tentang perencanaan perhelatan kesenian
yang dikemas dalam bentuk pameran seni rupa.
Misalnya, strategi kurasi apa yang jitu dan mengena pada konteks Indonesia yang beragam budaya serta dinamika sosial masyarakatnya
yang sangat dipengaruhi oleh kebijakan budaya (police cultural). Seperti budaya media dan teknologi.
Konteks ruang dan tempat dimana praktik kurasi itu
dijalankan sangat menentukan tercapainya tujuan kurasi. Anggapan bahwa model
kurasi tertentu berlaku sama dan universal itu tidaklah tepat. Dalam hal ini,
pendekatan yang perlu dipertimbangkan, misalnya adalah pendekatan ‘etnografi’ yakni pengumpulan data empiris terhadap masyarakat
dan budaya.
Pendekatan etnografi ini kita pinjam dari kazanah
ilmu antropologi. Dalam pendekatan itu terdapat berbagai cara dan teknik untuk
mendapatkan diskripsi sosio-kultur suatu kelompok masyarakat.
Dengan pendekatan etnografi, paling tidak praktisi
kurasi bisa memperoleh gambaran siapa audiennya? nilai-nilai apa yang dianut
secara dominan oleh audiennya? Nilai-nilai itu sangat menentukan ‘genre’ atau ideologi seni yang jadi pilihan kelompok-kelompok masyarakat.
Karena itu, kajian
terhadap audensi atau
sasaran apresiator yang akan dicapai, menjadi sangat penting.
Kuratorial bukan bertujuan mengeksistensikan karya itu sendiri. Namun pada
gilirannya akan mempertimbangkan akses
tipografi
audien yang akan mengonsumsinya.
Misalnya pada konteks kota. Ekspresi bahasa pop lebih diakrabi oleh masyarakat
perkotaan yang notabene mengalami budaya konsumerisme yang kuat. Ini dapat kita
bandingkan dengan seni di ruang
rural, biasanya ekspresi ‘memori
kolektif’ (tradisi) lebih dominan.
Konteks tersebut perlu kita perhatikan. Pada kasus
berbeda,
bisa jadi terdapat jenis masyarakat yang terbuka oleh persilangan nilai. Masyarakat seperti ini familiar
dengan ekspresi kultural yang
memperhatikan berbagai bentuk jukstaposisi
(penempatan
dua objek secara berdampingan).
Sementara pada kasus masyarakat yang terintegrasi oleh nilai-nilai adat/religi
tertentu, tentu pandangan adat/religi menentukan persepsi atas arti dan fungsi
seni. Dengan memahami konteks ruang dan
tempat itu kita
mesti menghindari
penggunaan satu jenis model parameter
kurasi.
Seperti sering disampaikan dalam beberapa seminar, kurator tidak
lepas tugasnya menghadrikan ‘pengetahuan’ atas karya-karya yang dipilih. Kurator perlu menguasai, paling
tidak pengetahuan mengenai materi mengenai pemahaman atas bahasa dan
representasi isu politik
atau kebijakan. Karena
tidak
lepas sebagai agen yang merefleksikan ‘ideologinya’.
Pada infrastruktur seni rupa yang mapan, peran dan
fungsi kurator terbagi berbagai divisi bidang, bidang seni klasik, seni modern,
dan kontemporer,. Juga pada
bidang seni tradisi, seni
lingkungan, seni lain sebagainya.
Tergantung ketersedian produksi artistik suatu karya pada
masyarakat. Konteks
masyarakat ini penting, karena dari situlah materi kurasi dihasilkan.
Perhelatan
yang digelar oleh Galleri Nasional Indonesia, Maret nanti (22/3/2017), akan memberikan pencerahan dan wawasan bagi pelaku
seni yang ada di Lampung.(*)
Komentar
Posting Komentar